Hukum ONANI

  1. tentang masalah onani

onani (istimna’) atau masturbasi bagi perempuan adalah (perbuatan) mengeluarkan mani bukan melalui jalan persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang lainnya (Mu’jam Lughah al-Fuqaha, vol. I: 65). Namun penjelasan dalam kitab-kitab fiqh, hemat kami cenderung pada kesimpulan bahwa onani adalah mengeluarkan sperma atau mani dengan disengaja dan dilakukan dengan menggunakan tangan, baik tangannya sendiri, tangan istri atau tangan budak perempuannya ketika syahwat sedang muncul dan atau memuncak.

Mengenai perbuatan ini, para fuqaha yang sejak dulu sudah membahasnya dalam kitab-kitab fiqh karangan mereka terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yaitu kalangan ulama Malikiyah, Syafi;iyah, dan Zaidiyah yang mengharamkannya. Argumentasi mereka adalah bahwa Allah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam semua perilaku, kecuali untuk istri dan budak yang dihalalkan (milku al-yamin).

Jika seseorang melampaui dua hal ini dan dia beronani, maka dia dianggap seperti kaum Ad yang melampaui batas dari apa yang dihalalkan Allah dan melakukan sesuatu yang diharamkan. Allah berfirman;

Q.S Al-Mu’min [23]: 5-7

Kelompok kedua adalah kalangan ulama hanafiyah yang berpendapat bahwa onani haram dalam kondisi tertentu dan wajib dalam kondisi yang lain. Mereka mengatakan: “Onani menjadi wajib, jika dia takut melakukan zina kalau tidak beronani, sesuai kaidah fiqh:

إرتكاب أخف الضررين

“Mengambil perbuatan teringan dari dua mudlarat (bahaya yang ada)

Sedangkan mereka yang mengatakan haram, jika dilakukan untuk memancing nafsu. Mereka mengatakan: “Tidak apa-apa dengan onani, jika nafsu sudah menguasai dirinya sementara dia belum memiliki istri atau budak wanita dengan tujuan mencari kestabilan.”

Kelompok ketiga adalah kalangan ulama madzhab Hambali yang mengatakan bahwa onani hukumnya haram, kecuali jika dia takut terjebak dalam perzinaan atau takut atas kesehatannya, sementara dia belum mempunyai istri atau budak wanita. Dia juga tidak mampu untuk menikah. Maka dalam kondisi seperti ini dia dibolehkan beronani.

Selain ketiga kelompok di atas, terdapat pendapat indpenden dari beberapa sahabat, tabi’in dan ulama lainnya di antaranya: Abdullah bin Umar ra, Abdullah bin Abbas ra, Atha’, al-Hasan, dan Ibnu Hazm. Ibnu Abbas ra dan al-Hassan membolehkannya. Sedang Abdullah bin Umar ra dan Atha’ memakruhkannya. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani hukumnya makruh dan tidak berdosa, sebab seseorang menyentuh kemaluan sendiri dengan tangan kirinya hukumnya mubah sesuai dengan ijma’ (kesepakatan para ulama). Jika memang mubah, maka hukum tidak akan berubah dari sifat mubah, kecuali sengajar mengeluarkan mani. (Fiqh as-Sunnah, vol. 3, h.424-426). Oleh sebab itu hukum asalnya tetap tidak haram, sebagaimana firman Allah:

Q.S Al-An’am [6]:119

Ayat ini tidak menunjukkan keharamannya. Dengan demikian, onani hukumnya halal, sebagaimana firman Allah:

Q.S al-Baqarah [2]: 29

Dari berbagai macam pendapat di atas, hemat kami bahwa onani hukumnya adalah makruh karena cenderung tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Dan dalam  kondisi tertentu dibolehkan, namun tidak boleh dilakukan secara rutin atau terus menerus. Kondisi tertentu itu antara lain seperti kasus sepasang suami-istri yang terpisahkan tempat tinggalnya. Para sahabat pun dalam sebuah riwayat pernah melakukan onani ketika sedang bepergian melakukan perang. Juga dibolehkannya seorang istri yang sedang dalam keadaan haid membantu keluarnya mani sang suami (maaf, dengan tangan istri tersebut) dimana dalam keadaan tersebut sang istri sedang terhalang secara syar’i (agama) untuk melakukan hubungan suami istri. Sebagaimana merujuk pada sebuah riwayat dalam shahih Muslim kitab al-Haidh (646):

حدثنا ثابت عن أنس أن اليهود كانوا إذا حاضت المرأة فيهم لم يؤاكلوها و لم يجامعوهن في البيوت فسأل أصحاب النبي النبي فأنزل الله تعالي: و يسألونك عن المحيض قل هو اذا فاعتزلوا النساء في المحيض…إلي اخر الأية (البقرة: 222). فقال رسول الله: اصنعوا كل شئ إلا النكاح (رواه مسلم)

“telah menceritakan kepada kami Tsabit dari Anas ra bahwa (suatu kebiasaan) orang-orang Yahudi apabila wanita-wanita mereka sedang haid, mereka tidak mau makan bersama-sama, bahkan tidak untuk tinggal serumah. Maka para sahabat bertanya perihal itu: “Mereka bertanya tentang haid. Katakanlah: Haid itu kotor. Karena itu jauhilah wanita-wanita itu selama masa haid. (Q.s Al-Baqarah [2]: 222). Lalu Rasulullah saw bersabda: “Kamu boleh melakukan segala-galanya selain bersenggama.” (H.R. Muslim)

Selain itu, artinya bagi mereka yang membiasakan beronani dan tidak dalam kondisi tertentu, maka ia telah bermaksiat dan melakukan perbuatan yang terkategori pengantar menuju zina. Padahal Allah berfirman:

Q.S. Al-Isra’ [17]: 32

Dari segi kesehatan, jika onani atau masturbasi itu sering dilakukan dan menjadi kebiasaan, demikian dapat mengganggu kesehatan jasmani (susunan syaraf) dan rohaninya (mental-pikiran). Juga dapat melemahkan potensi kelamin serta kemampuan ejakulasinya, sehingga sel sperma laki-laki cenderung gagal bertemu dengan sel telur wanita (ovum) (al-Jurjawi, 1931: 189-199)

Beberapa langkah yang dianjurkan agar setiap muslim menjauhi dan terhindar dari perbuatan onani ini di antaranya sebagai berikut:

  1. menyibukkan diri dengan kegiatan atau aktifitas yang bermanfaat.
  2. Menjauhi hal-hal yang dapat mengarah dan menyebabkan syahwat seperti bacaan, film, dan media berbau pornografi dan lain-lainnya.
  3. Menikah jika seseorang tersebut sudah mampu. Namun jika belum mampu, sebagaimana Rasulullah saw. Menganjurkannya untuk berpuasa.

Disadur dari Suara Muhammadiyah no. 14/ Th. Ke 95 hal. 14-15

4 thoughts on “Hukum ONANI

  1. seorang istri, yg mempunyai suami dalam keadaan tidak dpt melakukan persetubuhan dikarenakan suami sakit diabet. sementara istri menginginkannya.apakah boleh istri melakukan onani dibantu suami?

Leave a reply to NURUL HIDAYATULLAH Cancel reply